Organisasi massa Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Pidie, yang dibantu sayap juangnya Laskas Pembela Islam (LPI) dan Mujahidah Pembela Islam (MPI), sangat antusias melakukan aksi nyata berupa penggalangan dana untuk para korban musibah gempa,bencana,dan pemberantasan maksiat.

loading...
Thursday, June 1, 2017

Cerita Anak Jalanan Dari Awal Sampai Akhir

loading...

Sedikit Cerita Bersama Anak Jalanan,debu jalanan cerita anak jalanan

Seribu rupiah seribu masa depan

“Semir tante? ”

“Semir? Hehehe maaf ya dek, aku lagi ga pake sepatu. ”

“Ga pa2 tante, semir aja ya. ”

“Apanya yang mau disemir dek? apa kakiku yang mau disemir? lain kali aja ya.” Kebetulan aku memang jarang sekali memakai sepatu, lebih sering memakai sandal.Dua bocah lelaki kecil itu tersenyum malu-malu.Satu anak kecil dengan bulu mata lentik,sedangkan yang satu lagi lebih besar dengan kulit coklat terbakar matahari.


http://cnmbvc.blogspot.com/2017/06/cerita-anak-jalanan-dari-awal-sampai.html

“Udah makan belum? ”Aku tengok arloji, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang.

“Belum tante. ”

“Udah sarapan? ”

“Belum tante. ”

“Makan bareng yuk. ”

“Bungkus aja ya tante. ”

“Kok dibungkus? Makan sini aja bareng-bareng. ”

“Ada teman-teman yang lain tante, ga enak kalau makan sendiri. ”

“Ya udah mana sebagian temanmu yang lain, suruh kesini aja sekalian, kita makan bareng. ”

Anak kecil yang agak besar tadi memanggil sebagian temannya yang berada tidak jauh dari tempat kami duduk. Tiga bocah kecil datang menghampiri, dengan malu-malu.

“Kalian udah makan belum? Makan bareng yuk”

Berdua bersama temanku, kami memesan makanan tambahan untuk mereka. Semula mereka masih malu-malu, duduk di sudut sebelah meja kami. Berlalunya waktu dan percakapan yang terjadi, akhirnya mereka mulai menerima kami dan menanggapi perbincangan dengan lancar.

Lima bocah kecil duduk bersama dalam satu meja. Bocah dengan bulu mata lentik malu-malu bernama Didi, saat ini masih duduk di bangku TK. Yang agak besar bernama Ardi, kelas 6 SD yang sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional. Satu lagi bernama Ali, dengan celetukan yang agak kasar bila dibandingkan dengan usianya yang masih duduk di bangku SD kelas 3. Dari cerita sebagian temannya, kata-kata dan tingkah laku Ali terpengaruh oleh ayahnya yang kasar. Ayah Ali seorang pemabuk yang bekerja sebagai tukang ojek sering melontarkan kata-kata kasar bahkan cenderung menggunakan kekerasan terhadap Ali. Menariknya, bila Ali sudah mulai berkata kasar, teman lainnya akan menegurnya. Bocah kecil satu lagi bernama Yudhi, paling pendiam diantara lima anak itu. Bocah terakhir (kebetulan saya lupa namanya) terlihat paling dewasa dan sering menjadi jubir di antara sebagian temannya.

Sambil menunggu makanan datang, kami isi dengan mengobrol santai. Mereka adalah anak-anak kecil yang sehari-harinya menjadi tukang semir sepatu di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM). Mereka tidak mau menyebut diri mereka pengamen atau (maaf) pengemis, tetapi tukang semir sepatu. Paling tidak untuk uang yang mereka dapatkan adalah hasil kerja memberi jasa bukan asal sekedar menerima uang. Mereka berlima tinggal tidak jauh dari TIM.

“Kalian di TIM dari jam berapa sampai jam berapa? Apa nggak dicari ibu kalian? ”

“Kalau Senin sampai Sabtu, setelah selesai sekolah sampai malam kira-kira jam 8 malam. Kalau hari Minggu, dari pagi sampai malam. ”

“Dalam sehari bisa dapat berapa dari menyemir sepatu, dek? ”

“Kadang goceng kadang ceban, kalau hari Minggu sepi, sekarang aja belum dapat tante. ”

“Trus, uangnya buat apa? Buat jajan kalian apa ditabung? ”

“Dikasih ibu dirumah. Tapi nggak semuanya, kalau dapat ceban, yang goceng dikasih yang gocengnya lagi dipakai jajan sama ditabung di sekolahan, hehehehe…”

Akhirnya pesanan makanan datang, dan kamipun makan ramai-ramai. Ditengah makan, datang segerombolan anak-anak kecil dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka mengawasi kami dengan pandangan menyelidik. Agak penasaran, karena 5 bocah tadi terlihat ketakutan dengan kedatangan mereka. Melihat polah gerombolan anak kecil tadi berbeda dengan 5 bocah yang saat itu duduk bersama kami. Mereka lebih kasar baik dalam sikap maupun kata-kata dengan rambut yang lebih merah terbakar matahari.

“Kalian kenal mereka? Teman-teman di TIM juga? ”

“Bukan tante, mereka bukan teman kami, mereka anak-anak luar TIM. Kemarin kami dipukuli mereka. ” Agak kaget juga mendengarnya.

“Dipukuli kenapa? ”

“Anak-anak di luar TIM tidak boleh masuk dan mengamen di TIM.Yang boleh di TIM ya hanya anak-anak di dalam TIM saja. Kemarin kami lihat mereka mengamen di TIM,terus kami lapor ke keamanan TIM dan bujang.Akhirnya mereka dimarahi, tapi mereka marah terus mendatangi kami dan memukul kami. ”

“Makanya lain kali, nggak usah lapor-lapor lagi,biarin aja mereka,daripada dipukuli lagi.” Kata temannya menimpali sekaligus memperingatkan temannya yang lain.

Dari cerita mereka, ada pembagian lokasi kerja.Lokasi TIM hanya boleh dikerjakan oleh anak-anak dalam TIM, itupun masih dibagi-bagi dalam bebrapa kelompok kecil dengan dikoordinatori bujang. Bujang adalah mantan penyemir sepatu yang dulu bekerja di TIM,setelah beranjak dewasa,mereka tidak lagi menyemir tetapi menjadi tukang parkir menggantikan tukang parkir yang sudah tua.Dari cerita mereka,bujang bertugas mengatur dan melindungi mereka terutama bila terjadi perkelahian seperti yang diceritakan sebelumnya.Ketika ditanya, apakah ada bagian uang hasil semir sepatu yang diberikan ke bujang.Mereka menjawab tidak ada.Semoga saja apa yang mereka ceritakan benar,tidak ada uang yang harus diberikan ke bujang.

“Jangan-jangan nanti kalau kalian sudah besar,jadi tukang parkir seperti bujang? ”

“Iyalah tante,tapi besok kalau kami sudah besar.Kalau sekarang mana mungkin,bebrapa bisa mobil-mobil yang parkir nabrak-nabrak semua.” Mereka tertawa bersama mendengar jawaban teman mereka.

Di tengah tawa mereka, saya berpikir, seperti inilah hidup dan cita-cita mereka.Mereka tidak pernah diajari untuk menggantung cita-cita setinggi langit dan mempunyai impian. Saya masih ingat sewaktu seusia mereka,saya mempunyai cita-cita sebagai dokter,teman-teman yang lain ada yang ingin menjadi polisi,astronot,dan sebagainya khas cita-cita anak kecil.Tapi bagi mereka,apa yang nampak di depan mereka itulah yang akan mereka jalani kelak, menjadi tukang parkir.

“Kalian tahu sodomi? ”Agak kaget juga mendengar pertanyaan berani dari temanku.

“Tau. ”Jawab mereka serempak

“Kalian jawab dengan jujur ya, apa diantara kalian ada yang pernah disodomi? ” Tanya temanku dengan berani.

“Nggak tante. ” Jawab mereka saling berpandangan.

“Tapi, teman-teman yang diluar TIM ada. ” Kali ini saya benar-benar kaget mendengar jawaban mereka.Memang di televisi sudah banyak diliput tentang sodomi di kalangan anak jalanan, tapi mendengar sendiri dari mulut mereka benar-benar membuat shock.

“Kalian tau siapa yang melakukannya? ”

“Kalau kata teman-teman di luar, orang-orang asing yang nggak dikenal. Setelah menyodomi, terus ditinggal begitu aja. ”

Astaghfirullah……. seperti itukah kondisi mereka di jalanan.Hidup dengan kekerasan ditambah dengan pelecehan seksual untuk anak sekecil mereka.

“Kalian harus hati-hati ya, kalau bisa saling menjaga. ”

“Kalau di TIM sih lumayan aman tante, tidak seperti yang di luar. Tapi ada juga yang kemarin pakai shabu-shabu. ” Astaga, apalagi ini, shabu-shabu? Anak sekecil itu sudah mengenal yang namanya shabu-shabu. Mungkin saya yang terlalu berpikir jauh, mungkin shabu-shabu yang dimaksud mereka adalah makanan Jepang, bukan barang terlarang itu.

“Shabu-shabu apa nih? Memangnya kalian tau apa itu shabu-shabu? ”

”Iya, yang narkoba itu kan.Kemarin kami lihat ada orang yang lagi nyabu di belakang.Ada juga yang pakai ganja, trus ada juga yang pakai suntikan.” Astaghfirullah,kami yang mendengar hanya bisa menahan napas mendengar cerita mereka. Mereka menyebutkan beberapa jenis narkoba bahkan bagaimana cara memakai suntikan di tangan.

“Kalian tau bahaya narkoba kan? ”

Dengan polos mereka menjawab, “nggak tau.Tapi yang jelas,kalau berurusan dengan narkoba nanti bisa ditangkap polisi. ”

“Kalian jangan dekat-dekat dengan yang namanya narkoba ya.Kalian janji harus hati-hati, jangan pernah dekat-dekat. ”

“Tau tuh tante, si Ardi kemarin nemu suntikan trus dibawa sama dia. ”

“Aku kemarin nemu suntikan tante, dipendam di tanah,trus aku ambil aku pindahkan sama teman-teman yang lain. Ga tau tuh, sekarang dibuang kemana suntikannya sama teman-teman yang lain. ”

“Ardi…. jangan dekat-dekat apalagi sampai mengambil suntikannya. Kalau kamu menemukannya, sudah biarin aja ya, nggak usah diambil apalagi dipindahin. Kalau pas kamu bawa suntikan trus ketahuan sama pak polisi, nanti kan kamu yang ditangkap, disangkanya kamu yang makai. Kamu mau ditangkap polisi? ”

Kami berdua mencoba meyakinkan mereka untuk tidak dekat-dekat dengan narkoba. Di mata bocah-bocah kecil itu, mereka tidak tau apa itu narkoba, bagaimana berbahayanya narkoba, yang mereka tau narkoba berbahaya karena bisa ditangkap polisi kalau ketahuan membawanya. Yang berbahaya adalah rasa penasaran mereka, untuk anak seusia mereka dengan jiwa-jiwa polosnya, rasa penasaran bisa mengalahkan segalanya.

“Bagaimana dengan anak-anak di luar. Apa mereka memakai narkoba? ”

“Nggak. Yang kecil seperti kami nggak pakai. Tapi yang bujang pakai narkoba. ”

“Itu…ayahnya eli kan pakai ganja. ” Timpal Ali dengan gaya sok taunya.

“Iya tante, ayahnya teman kami Eli kan pakai ganja dapat dari ayahnya Dwi. ”

“Dapat dari mana uangnya untuk beli ganja? ”

“Nggak tau juga tante. ”

Saya masih terus berpikir dan mencoba mencerna semua pembicaraan dengan bocah-bocah kecil ini. Di usia sekecil itu, mereka sudah mengenal yang namanya shabu,ganja,suntikan,sodomi,kata-kata kasar seperti bangsat. Kondisi yang sangat berbeda jauh dengan anak-anak kecil yang berada di Planetarium tempat kami melihat pertunjukan ruang angkasa sebelumnya. Anak-anak kecil yang datang bersama bapak-ibunya dengan mengendarai mobil, yang mengambek hanya karena tidak dibelikan mainan baru di lobi Planetarium.Kondisi yang sangat timpang.

Bagi lima bocah kecil ini,bermain adalah bekerja,bekerja adalah bermain,tidak ada pakaian mewah,tidak ada mainan baru,tertawa bersama,dan bermain bersama.Mereka tidak tau apa itu hak yang sering digembar-gemborkan komnas perlindungan anak,yang mereka tau,mereka bekerja untuk mendapatkan uang untuk emak dan jajan mereka.

Percakapan singkat dengan lima bocah kecil itu,kembali menyadarkanku.Kondisi di luar sana bagi anak-anak jalanan adalah perang yang berlaku hukum alam,siapa yang kuat dialah yang akan bertahan,sekalipun dengan saling serang teman sendiri untuk bertahan hidup.Di tengah perang itupun,mereka harus menerima perlakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan mereka hanya untuk pemuasan nafsu binatang yang menjijikan.

Kita tidak boleh pura-pura buta dan tuli melihat kondisi seperti ini, karenabukanlah sekedar hanya kondisi seperti ini memang benar-benar terjadi,bukan hanya sekedar gosip dan rumor belaka.Teringat dengan Pasal 34 UUD 1945, yang sampai sekarang masih belum diamandemen keberadaannya “Yatim piatu dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Kita adalah bagian dari negara Indonesia, kita adalah bagian dari masyarakat tempat mereka berada, jadi kita juga bertanggung jawab untuk memelihara dan membantu mereka.

*) terimakasih untuk lima bocah kecil yang telah menemani kami menghabiskan makan siang di salah satu sudut TIM.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Cerita Anak Jalanan Dari Awal Sampai Akhir

0 comments:

Post a Comment